NewsTujuh.com , MADIUN – Di tengah gencarnya Presiden Prabowo Subianto menggaungkan program ketahanan pangan nasional dan perluasan lahan pertanian, sebuah ironi terjadi di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Lahan sawah produktif di Desa Kuwu, Kecamatan Balerejo, justru diurug untuk pembangunan pabrik mainan dengan investasi asing.
Hal ini diungkapkan oleh aktivis anti korupsi sekaligus pemerhati desa, Dimyati Dahlan, kepada awak media, Rabu (7/5/2025). Menurut Dimyati, lokasi yang sedang diurug tersebut termasuk dalam kawasan Lahan Sawah Dilindungi (LSD), yang semestinya tidak boleh dialihfungsikan.
“Hasil investigasi saya menunjukkan bahwa lahan tersebut masih masuk kawasan LSD. Peta lahannya bisa dicek secara daring. Sekarang malah diurug untuk pembangunan pabrik mainan. Apakah ini tidak bertentangan dengan kebijakan Presiden terkait ketahanan pangan?” ujar Dimyati melalui sambungan telepon.
Dimyati juga menyoroti aspek hukum dalam proses ini. Ia menyebut pengurugan lahan yang masih berstatus LSD tersebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
“Ini jelas bentuk alih fungsi lahan. Anehnya, proses ini berlangsung meski perizinannya belum rampung. Saya menduga ada kekebalan hukum yang dimiliki oleh pihak-pihak tertentu. Kalau bukan karena dukungan dari penguasa atau penegak hukum, mana mungkin berani melanggar Pasal 44 UU No. 41 Tahun 2009 yang ancamannya juga tertuang dalam Pasal 72?” tegasnya.
Sebagai pemerhati desa, Dimyati menyampaikan keprihatinannya terhadap posisi Kepala Desa dan perangkatnya yang berpotensi menjadi korban jika kasus ini berujung pada proses hukum.
Ia mengimbau agar pemerintah desa segera bersurat secara resmi kepada instansi terkait di tingkat atas maupun institusi vertikal, guna meminta klarifikasi dan melindungi diri dari potensi tuduhan pembiaran atau penyalahgunaan wewenang.
“Saya menyarankan Kepala Desa maupun BPD segera mengirimkan surat resmi kepada dinas dan lembaga terkait. Ini demi meminimalkan risiko hukum di kemudian hari. Sudah ada contoh sebelumnya, seperti kasus alih fungsi lahan di Bali awal tahun 2025 lalu yang berujung pidana,” tutup Dimyati.